|
Salah Satu Adegan Melodi Pengakuan - Teater Selembayung |
|
Sabtu tanggal 5
mei 2012 yang lalu, kelompok Teater Selembayung menggelar sebuah pertunjukan
bertajuk “Melodi Pengakuan” yang diangkat dari kisah “Hikayat Lancang Kuning”.
Cerita tersebut disadur oleh sutradara Rina Nazaruddin Entin dari sudut feminis
seorang Zubaidah yang merupakan istri dari Panglima Umar. Dalam cerita
tersebut, Rina mencoba untuk melakukan rekonstruksi ulang dari keenam tokoh
utama yang menjadi sentral dari malapetaka yang diangkat. Keenam tokoh tersebut
adalah Panglima Hasan, Datuk Laksamana, Inang, Panglima Umar, Bomo dan Zubaidah
sendiri.
Konsep
permainan yang diangkat adalah setiap tokoh sentral tersebut akan ber-monolog
secara bergantian dengan diiringi seorang penari sebagai bayangannya. Konsep
ini mungkin terbilang baru dan unik. Disertai dekorasi yang apik dari Soha Riau
tentunya menjadi nilai tambah didalam pertunjukan tersebut. Namun sayang, dalam
beberapa hal pertunjukan tersebut terkesan membosankan.
Seperti
biasa, penulis akan mencoba menuangkan kesan yang tertangkap dari pertunjukan
malam tersebut.
Pertunjukan
malam itu dikemas dengan konsep kilas balik yang coba direkam dari masa modern
menuju masa lalu. Dari percakapan dua orang wanita ibu dan anak, menuju monolog
enam tokoh sentral yang membingungkan. Penulis katakan membingungkan karena
monolog yang dilakukan dikemas secara membosankan, terlalu lama dan diiringi
musik yang monoton. Dalam diskusi pada akhir acara, seorang audiens menyatakan bahwa
ia mengalami kebisingan yang disebabkan oleh nada dengung yang digunakan
sebagai backsound sepanjang monolog.
Selain
itu, ada beberapa penyimbolan yang penulis anggap gagal. Dalam kisah tersebut
tokoh Zubaidah sedang hamil 7 bulan namun dalam pertunjukan tersebut justru
tidak diperlihatkan. Beda halnya dengan tokoh Inang yang diperlihatkan
karakternya sebagai perempuan tua atau datuk laksamana yang nampak tua dari
dandanannya. Ini justru membuat karakter mereka semakin menguat. Sayangnya, hal
ini juga yang kemudian menjadikan karakter-karakter tersebut seperti kehilangan
ruh.
Dari
sisi kekuatan dialog dalam bermonolog, saya mengacungkan jempol kepada tokoh
Inang. Karakter perempuan tua yang diperankan sangat mengena baik dialog dan
gestuur, sedangkan kelima tokoh lainnya saya nilai biasa saja. Terutama tokoh
Zubaidah yang penulis anggap vokalnya sangat tidak mengena. Bila mengacu pada
kritikan dari Pak Taufik Effendi Arya, setiap pemain harus dapat membedakan
mana Vokal Panggung dan mana Vokal Sehari-hari. Mungkin hal ini dikarenakan
faktor lelah saja setelah tiga hari penampilan.
Dalam
pengambilan ide cerita, penulis sangat kecewa dengan pertunjukan malam itu.
Dari beberapa ulasan yang penulis dapatkan didalam blog maupun catatan didalam blog/web
maupun beberapa akun jejaring sosial pemain, banyak yang menyebutkan bahwa pertunjukan
ini adalah sebuah rekonstruksi ulang dari Hikayat Lancang Kuning yang masyhur. Disebutkan
pula bahwa cerita ini mengangkat kekuatan feminisme yang digambarkan oleh tokoh
Zubaidah.
Sayangnya, kekuatan feminisme yang digambarkan
tidak begitu nampak kepermukaan. Penulis tidak melihat bentuk penolakan pada
adegan penumbalan Zubaidah. Bahkan, dalam dialog Tokoh Zubaidah penulis
menangkap suatu sikap keikhlasan dan keputusasaan atas kurang ajarnya Panglima Hasan yang tak senonoh serta dibayangi dengan alasan
berkorban demi negeri Bukit Batu. Bayangkan saja, jika hari ini ada penggusuran
terhadap Monumen Ikan Selais untuk diganti dengan Monumen Tongkol dan itu
membutuhkan korban perempuan. Pastinya banyak perempuan putus asa (baca; galau, pen) yang siap untuk
berkorban. Ini adalah suatu penggambaran yang menyedihkan.
Dalam
suatu skema rekonstruksi ulang yang diangkat oleh sutradara Rina N.E, keenam
tokoh melakukan monolog yang keseluruhannya adalah pembelaan diri dari
kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan. Dari hal itu saja penulis merasa
ini bukanlah sebuah rekonstruksi ulang melainkan sebuah pledoi berjamaah, selayaknya anggota dewan yang terkena kasus korupsi.
Pasti panjang sekali pembelaannya yang sudah pasti berputar-putar saja. Lantas dari segi apakah rekonstruksi dalam cerita yang diangkat tersebut?
Tentulah
menjadi janggal jika sebuah rekonstruksi ulang suatu cerita dengan tema Melodi
Pengakuan namun tidak ada yang berubah antara kisah dalam Hikayat dengan yang
dipertunjukkan. Didalam Hikayat Lancang Kuning, Zubaidah mati ditumbal. Dalam
kisah pertunjukan, Zubaidah juga mati ditumbal. Bedanya hanyalah, didalam
Hikayat tokoh Zubaidah terlebih dahulu melakukan perlawanan sebelum akhirnya
mati ditumbal. Sedangkan didalam kisah pertunjukan tokoh Zubaidah bersedia
ditumbal dengan alasan kejayaan negeri (bahwa kaum hawa juga bisa berjuang demi
bangsa dengan cara mengorbankan diri untuk sebuah kapal yang tak hendak
berlayar). Ini terasa janggal bagi penulis, sebab penulis tidak menangkap unsur
rekonstruksi didalam Melodi Pengakuan yang diangkat oleh Kelompok Teater
Selembayung.
Jikalau
penulis diperbolehkan berharap, malam itu penulis berharap mendapatkan
pertunjukan yang nakal dan banal. Misalkan saja sebuah adegan dimana Zubaidah
menolak ditumbalkan dan menuntut syarat penumbalan juga melibatkan laki-laki
uzur atau harus salah satu dari sekian Panglima yang dimiliki Negeri Bukit Batu.
Atau, Zubaidah menuntut untuk dijadikan pemimpin armada perang seperti suaminya
demi membela negeri. Atau mungkin adegan lain yang kira-kira menunjukkan suatu
kenakalan arena pertunjukan. Entahlah, mungkin inilah yang hendak disampaikan
pula oleh sutradara Rini N.E dan para pemeran.
Walau
begitu, sebagai sebuah pertunjukan penulis tetap mengacung jempol pada
semangatnya. Biarpun sedikit merasa janggal, penulis tetap harus
mengapresiasikan semangat berkreasi dan ber-pertunjukan di Riau. Tabikk.