Jumat, Mei 11, 2012

Maklumat Zubaidah

Aku tak hendak ditumbalkan
Aku ingin meminta banding atas syarat melepas Lancang Kuning
Hidup bayiku lebih berharga daripada alasan demi melayarkan sebuah kapal belaka
Kenapa tak engkau saja yang menumbalkan dirimu yang pengecut?
Toh, kaum engkau jua yang berdiri dihaluan
Bukan aku

Aku menuntut persamaan hak
Apakah karena dada ku yang bulat penuh ini maka aku tak bisa menjadi Panglima
Aku pun ingin memimpin armada besar seperti Malahayati
Atau menjadi pakar tauladan seperti adinda Kartini
Kenapa justru aku yang harus dijadikan pembayar sebuah nafsu yang tak sampai

Persetan dengan nasib negeri
Hidupku aku yang miliki, aku pula yang akan memilih bagaimana akan ku akhiri
Tak ada hak kalian memaksa kehendak atasku
Apalagi engkau..!!






#Sedikit Jawaban Atas Sebuah Melodi Pengakuan,-)

Sebuah Melodi Pengakuan dari Teater Selembayung

Salah Satu Adegan Melodi Pengakuan - Teater Selembayung


Sabtu tanggal 5 mei 2012 yang lalu, kelompok Teater Selembayung menggelar sebuah pertunjukan bertajuk “Melodi Pengakuan” yang diangkat dari kisah “Hikayat Lancang Kuning”. Cerita tersebut disadur oleh sutradara Rina Nazaruddin Entin dari sudut feminis seorang Zubaidah yang merupakan istri dari Panglima Umar. Dalam cerita tersebut, Rina mencoba untuk melakukan rekonstruksi ulang dari keenam tokoh utama yang menjadi sentral dari malapetaka yang diangkat. Keenam tokoh tersebut adalah Panglima Hasan, Datuk Laksamana, Inang, Panglima Umar, Bomo dan Zubaidah sendiri.

Konsep permainan yang diangkat adalah setiap tokoh sentral tersebut akan ber-monolog secara bergantian dengan diiringi seorang penari sebagai bayangannya. Konsep ini mungkin terbilang baru dan unik. Disertai dekorasi yang apik dari Soha Riau tentunya menjadi nilai tambah didalam pertunjukan tersebut. Namun sayang, dalam beberapa hal pertunjukan tersebut terkesan membosankan.

Seperti biasa, penulis akan mencoba menuangkan kesan yang tertangkap dari pertunjukan malam tersebut.

Pertunjukan malam itu dikemas dengan konsep kilas balik yang coba direkam dari masa modern menuju masa lalu. Dari percakapan dua orang wanita ibu dan anak, menuju monolog enam tokoh sentral yang membingungkan. Penulis katakan membingungkan karena monolog yang dilakukan dikemas secara membosankan, terlalu lama dan diiringi musik yang monoton. Dalam diskusi pada akhir acara, seorang audiens menyatakan bahwa ia mengalami kebisingan yang disebabkan oleh nada dengung yang digunakan sebagai backsound sepanjang monolog.

Selain itu, ada beberapa penyimbolan yang penulis anggap gagal. Dalam kisah tersebut tokoh Zubaidah sedang hamil 7 bulan namun dalam pertunjukan tersebut justru tidak diperlihatkan. Beda halnya dengan tokoh Inang yang diperlihatkan karakternya sebagai perempuan tua atau datuk laksamana yang nampak tua dari dandanannya. Ini justru membuat karakter mereka semakin menguat. Sayangnya, hal ini juga yang kemudian menjadikan karakter-karakter tersebut seperti kehilangan ruh.

Dari sisi kekuatan dialog dalam bermonolog, saya mengacungkan jempol kepada tokoh Inang. Karakter perempuan tua yang diperankan sangat mengena baik dialog dan gestuur, sedangkan kelima tokoh lainnya saya nilai biasa saja. Terutama tokoh Zubaidah yang penulis anggap vokalnya sangat tidak mengena. Bila mengacu pada kritikan dari Pak Taufik Effendi Arya, setiap pemain harus dapat membedakan mana Vokal Panggung dan mana Vokal Sehari-hari. Mungkin hal ini dikarenakan faktor lelah saja setelah tiga hari penampilan.

Dalam pengambilan ide cerita, penulis sangat kecewa dengan pertunjukan malam itu. Dari beberapa ulasan yang penulis dapatkan didalam blog maupun catatan didalam blog/web maupun beberapa akun jejaring sosial pemain, banyak yang menyebutkan bahwa pertunjukan ini adalah sebuah rekonstruksi ulang dari Hikayat Lancang Kuning yang masyhur. Disebutkan pula bahwa cerita ini mengangkat kekuatan feminisme yang digambarkan oleh tokoh Zubaidah.
Sayangnya, kekuatan feminisme yang digambarkan tidak begitu nampak kepermukaan. Penulis tidak melihat bentuk penolakan pada adegan penumbalan Zubaidah. Bahkan, dalam dialog Tokoh Zubaidah penulis menangkap suatu sikap keikhlasan dan keputusasaan atas kurang ajarnya Panglima Hasan yang tak senonoh serta dibayangi dengan alasan berkorban demi negeri Bukit Batu. Bayangkan saja, jika hari ini ada penggusuran terhadap Monumen Ikan Selais untuk diganti dengan Monumen Tongkol dan itu membutuhkan korban perempuan. Pastinya banyak perempuan putus asa (baca; galau, pen) yang siap untuk berkorban. Ini adalah suatu penggambaran yang menyedihkan.

Dalam suatu skema rekonstruksi ulang yang diangkat oleh sutradara Rina N.E, keenam tokoh melakukan monolog yang keseluruhannya adalah pembelaan diri dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan. Dari hal itu saja penulis merasa ini bukanlah sebuah rekonstruksi ulang melainkan sebuah pledoi berjamaah, selayaknya anggota dewan yang terkena kasus korupsi. Pasti panjang sekali pembelaannya yang sudah pasti berputar-putar saja. Lantas dari segi apakah rekonstruksi dalam cerita yang diangkat tersebut?

Tentulah menjadi janggal jika sebuah rekonstruksi ulang suatu cerita dengan tema Melodi Pengakuan namun tidak ada yang berubah antara kisah dalam Hikayat dengan yang dipertunjukkan. Didalam Hikayat Lancang Kuning, Zubaidah mati ditumbal. Dalam kisah pertunjukan, Zubaidah juga mati ditumbal. Bedanya hanyalah, didalam Hikayat tokoh Zubaidah terlebih dahulu melakukan perlawanan sebelum akhirnya mati ditumbal. Sedangkan didalam kisah pertunjukan tokoh Zubaidah bersedia ditumbal dengan alasan kejayaan negeri (bahwa kaum hawa juga bisa berjuang demi bangsa dengan cara mengorbankan diri untuk sebuah kapal yang tak hendak berlayar). Ini terasa janggal bagi penulis, sebab penulis tidak menangkap unsur rekonstruksi didalam Melodi Pengakuan yang diangkat oleh Kelompok Teater Selembayung.

Jikalau penulis diperbolehkan berharap, malam itu penulis berharap mendapatkan pertunjukan yang nakal dan banal. Misalkan saja sebuah adegan dimana Zubaidah menolak ditumbalkan dan menuntut syarat penumbalan juga melibatkan laki-laki uzur atau harus salah satu dari sekian Panglima yang dimiliki Negeri Bukit Batu. Atau, Zubaidah menuntut untuk dijadikan pemimpin armada perang seperti suaminya demi membela negeri. Atau mungkin adegan lain yang kira-kira menunjukkan suatu kenakalan arena pertunjukan. Entahlah, mungkin inilah yang hendak disampaikan pula oleh sutradara Rini N.E dan para pemeran.

Walau begitu, sebagai sebuah pertunjukan penulis tetap mengacung jempol pada semangatnya. Biarpun sedikit merasa janggal, penulis tetap harus mengapresiasikan semangat berkreasi dan ber-pertunjukan di Riau. Tabikk.

Jumat, Mei 04, 2012

SIKARI Proudly Present

The Biggest Cartoon Sydicate's in Riau Proudly Present
 


Klinik Kartun



it's a regular programs in SIKARI (SIndikat KArtunis RIau).

Minggu ini acara Klinik Kartun akan di isi oleh Mr. Bagong's Wkwk, seorang perupa kawakan asal Kota Pekanbaru.

So, for all of you who love cartoon, let's join us..


Inget yaa, tanggal 5 mei 2012 di kompleks gedung MTQ (tepatnya di DKR).




Don't Miss it and Keep Cartoon..!!

Rabu, Mei 02, 2012

Ketika Tampangku Go Public, Lagi.. (Part II)


Yupp..
Ini adalah salah satu hasil pemaksaan saya juga,
Express banget..
Siang barusan diorder eh, uda jadi..

Mantepppp doonkkk..

hehehehehe..

Karya Abdul Rachman (anggota Sindikat Kartunis Riau)






Asli cadas, kesan dekilnya ok banget..
hehehehe..


thx ya Man..
besok2 kalo dipalakin lagi harus tetep ikhlas yaa..

hehehehehe..